Pada Sebuah “Ketika”
Lebih dari segalanya, waktu. Hanya waktu.
Dan kita memang sudah sejak dulu. Kamu tahu. Menikmati setiap jeda, setiap jenak, setiap lalu kala menunggu. Sebaris senyap dalam kata-kata yang tergugu. Tidak terburu. Tidak jemu-jemu meski yang kita lakukan tidaklah lebih hebat dari sekadar menunggui sebatang rokok bertransformasi menjadi abu. Kita mungkin terikat dalam erat yang terlalu. Begitukah menurutmu?
Bukan cinta. Atau kecupan lewat kala senja. Tapi waktu.
Semakin singkat. Ingatan fotografis semakin tak bisa diandalkan ketika jejak-jejak mulai berkarat. Dan kamu tahu karat itu hama seperti binatang pengerat. Saya tidak lagi ingin kamu dalam satu kerat. Tidak cukup kuat. Imajimu tidak bisa menjelma nyata hanya dalam nyala lampu 25 watt. Dan waktu tersaruk-saruk di belakang kita dengan langkah-langkah berat.
Hanya waktu. Apakah aku meminta terlalu banyak?
[Tidak, kamu meminta terlalu sedikit. Kecanduan akan waktu ini seperti penyakit, sementara rentang hidup semakin sempit.]
Bisakah kita melahap bintang-bintang dengan mata saja? Pada sebuah ketika di mana akhirnya langit kita berbagi warna serupa. Ketika jendela tak perlu menjelma perantara untuk mengantarkan bingkisan kata-kata. Kedipan bulu mata adalah nyata. Setiap geraknya. Setiap helainya. Tanpa sela. Tanpa cela.
Sempurna.
Ini tak akan bertahan selamanya.
Aku tahu.
Cuma sementara.
Aku tahu.
Jika begitu, mengapa masih kau katakan sempurna?
Karena aku tidak meminta selalu.
Aku cuma minta secukupnya waktu.
Hanya waktu.
Untuk mencintaimu.